Minggu, 08 Agustus 2010

LUBANG KERINDUAN

 Seperti kota-kota yang lain, ketika ”revolusi dan ideologi” dipuja bagai dewa, langit kota kecil itu pun selalu menyala. Seperti siang itu, bendera dan panji-panji partai berkibar-kibar, diiringi sorak-sorai. Bagai tepung terigu ditebah angin, debu mengepul di jalanan. Aroma kemarau bercampur bau keringat diisap ribuan orang. Mereka mengelu-elukan pawai para pemuda yang berderap-derap. Wajah para pemuda itu tampak mengeras, kaku seperti baja. Tangan mereka terkepal. Kata-kata ”revolusi”, ”ganyang nekolim”, ”hidup Nasakom”, dan yel-yel lain pun berloncatan penuh tanda seru.